PERKAWINAN ADAT BANJAR
DI LINGKUNGAN KELURAHAN TELUK TIRAM
KECAMATAN BANJARMASIN BARAT
PENDAHULUAN
1. Umum
Kebudayaan adalah totalitas latar belakang system nilai, lembaga dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Itu merupakan seluruh gagasan, tidakan dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Kebudayaan sekaligus menjadi identitas masyarakat yang bersangkutan sehingga dalam kenyataannya tidak ada dua masyarakat yang kebudayaannya seluruhnya sama. Melihat demikian beragamnya kebudayaan, seperti beragamnya lingkungan, maka dapat dikatakan bahwa kebudayaan itu merupakan suatu respon terhadap lingkungan sekitar. Baik lingkungan manusia maupun lingkungan alam. Respon itu tidak akan sama dari suatu masyarakan ke masyarakat lain, karena manusia mempunyai kemampuan kreatif.
Demikian pula perkawinan adat orang banjar adalah satu aspek budaya banjar yang harus dilestarikan kebudayaannya, karena prosesi perkawinan tersebut menjadi identitas dan jati diri orang banjar. Berbagai tata cara adat istiadat yang berkaitan dengan prosesi perkawinan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat kecamatan Banjarmasin Barat Khususnya di kelurahan Teluk Tiram adalah menjadi wujud pelestarian budaya yang sangat bermanfaat bagi generasi muda dewasa ini. Khususnya upaya mempelajari tata kehidupan adat perkawinan masyarakat banjar sejak dulu sampai sekarang.
2. Maksud dan tujuan
a. Maksud
Penulisan adat istiadat yang berkaitan dengan prosesi perkawinan di kelurahan teluk tiram kecamatan Banjarmasin barat ini bermaksud untuk memberikan gambaran keadaan kebudayaan adat istiadat perkawinan masyarakat banjar kepada generasi muda untuk dilestarikan keberadaannya.
b. Tujuan
Sebagai bahan masukan dan sumbangan pemikiran kepada pimpinan dalam rangka menyikapi arus pergeseran nilai kebudayaan dan adat istiadat setempat.
3. Ruang Lingkup dan Tata Urut
Tulisan ini dibatasi pada pembahasan tentang perilaku masyarakat banjar khususnya penduduk yang bertempat tinggal di pinggiran kota khususnya di kelurahan teluk tiram kecamatan Banjarmasin barat yang meliputi strata social kebudayaan adat banjar dalam konteks upacara perkawinan, dengan tata urut sebagai berikut:
a. Pendahuluan
b. Keadaan geografis
c. Kondisi masyarakat kelurahan Teluk Tiram
d. Kronologis berbagai tata cara adat istiadat yang berkaitan dengan prosesi perkawinan
e. Sajian Astakona
f. Kesimpulan saran
g. Penutup.
4. Metode dan Pendekatan
Penulisan naskah ini menggunakan metode empiris dengan pengamatan di lapangan dengan pendekatan penelusuran kepustakaan di wilayah Provinsi Kalimantan Selatan.
KEADAAN GEOGRAFIS
5. Berdasarkan data yang diambil dari BPS Kota Banjarmasin, kecamatan Banjarmasin Barat terletak pada ketinggian 0,16 m di bawah permukaan laut, dengan kondisi daerah berpaya – paya dan relative datar sehingga pada waktu pasang hamper seluruh wilayah digenangi air. Kecamatan Banjarmasin Barat berbatasan dengan kecamatan Banjarmasin Utara di bagian utara, Kecamatan Banjarmasin Selatan di sebelah selatan, Kecamatan Banjarmasin Tengah di sebelah timur dan di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Barito Kuala. Kecamatan Banjarmasin Barat terdiri dari Sembilan kelurahan dengan luas wilayah keseluruhan adalah 13,37 km2. Kelurahan Basirih adalah kelurahan yang memiliki wilayah terluas diantara delapan lainnya dengan wilayah sebesar 3,65 km2 atau mencakup sekitar 27,30 % dari luas wilayah kecamatan BanjarmasinBarat secara keseluruhan, sedangkan kelurahan Telawang memiliki luas terkecil dengan luas wilayah 0,57 km2 atau sekitar 4,26 % dari luas wilayah kecamatan Banjarmasin Barat.
KONDISI MASYARAKAT TELUK TIRAM
6. Komposisi Penduduk. Komposisi jumlah penduduk kelurahan teluk tiram kecamatan Banjarmasin barat adalah, laki – laki 6.056 dan perempuan 5.967. dengan perincian: dewasa laki – laki 50,20 % ; perempuan 49,80 % ; anak – anak laki – laki 51, 09 % ; anak – anak perempuan 48,91 %. Yang dimaksud dengan dewasa adalah penduduk yang berumur lebih dari 15 tahun keatas.
7. Profesi. Profesi penduduk untuk masing – masing RT di kelurahan teluk tiram kecamatan Banjarmasin barat adalah sebagai petani, pengusaha, pegawai negeri, jasa, pedagang, buruh, dan lain-lain. Pada umumnya mayoritas pekerjaan penduduk adalah buruh, kemudian pedagang, dan pegawai negeri, baru petani.
8. Agama. Mayoritas agama yang dipeluk oleh penduduk adalah agama Islam dan selanjutnya adalah agama Kristen katholik. Adapun jumlah pemeluk agama tersebut 94,64 % Islam, 2,10 % katholik.
9. Pemukiman. Pemukiman penduduk dapat digolongkan menjadi dua, yaitu pemukiman di tepi sungai dan pemukiman di tepi jalan darat. Sedangkan ynag bermukim di tepi sungai pada umunya sungai masih sangat berperan bagi sebagian penduduk. Di samping dimanfaatkan sebagai MCK juga berfungsi sebagai transportasi. Penduduk membuat rumah di tepi sungai bahkan akan menjorok di atas air. Sedangkan pemukiman yang di tepi jalan darat, bentuk pemukiman memanjang di sebelah kanan kiri jalan. Baik jalan kodya maupun jalan kampung dan gang-gang di wilayah lingkungan RT kelurahan Teluk Tiram kecamatan Banjarmasin Barat.
KRONOLOGIS BERBAGAI TATA CARA ADAT ISTIADAT
YANG BERKAITAN DENGAN PROSESI PERKAWINAN
10. UMUM
Suatu kehidupan yang paling menarik dan tak pernah terlupakan bagi individu masyarakat adalah acara “perkawinan”. Oleh sebab itu perkawinan tersebut selalu ditandai oleh sifatnya yang khas dan unik yang merupakan suatu tata traditional bagi setiap suku.
Dalam peristiwa itu selalu terjalin dengan harmonis ketentuan menurut agama dan adat istiadat sebagai lembaga tak tertulis yang dipatuhi tanpa pertentangan – pertentangan antara satu dengan yang lainnya dalam strata masyarakat adat.
Suku banjar sebagai salah satu suku bangsa Indonesia di Kalimantan Selatan yang juga mempunyai tata cara keadatan tentang peristiwa perkawinan itu, meskipun keadatan tersebut telah mengalami perubahan – perubahan secara evolusi.
Adat istiadat yang menurut kurun waktunya sangat menonjol adalah pada abad ke-18, suatu gambaran yang dapat dinilai secara fisik maupun psikis adalah pembauran antara peninggalan zaman Hindu, Islam dan pengaruh asing lainnya.
Secara kronologis, maka peristiwa perkawinan menurut adat suku Banjar dapat diuraikan sebagai berikut:
11. BASASULUH
Bilamana seseorang telah sampai saat ingin kawin lazimnya oleh keluarganya yang terdekat diadakanlah apa yang yang dinamakan “Basasuluh”. Yakni ingin mendapatkan keterangan tentang calon isteri yang diinginkan setelah mendapatkan persetujuan dari pihak keluarga yang bersangkutan.
Beberapa hal yang ingin diketahui diantaranya:
1. Tentang agamanya
2. Tentang keturunannya
3. Tentang kemampuan rumah tangganya
4. Tentang kecantikan wajahnya
Dari empat hal tersebut di atas yang menjadi titik tumpu perhatian itu adalah pada dua hal yaitu agama dan keturunannya. Sebaliknya, bagi keluarga calon isteri di samping hal di atas, akan diperhatikan pula apakah lapangan pekerjaan calon suaminya tersebut. Hal itu sangat penting karena akan turut menentukan nilai rumah tangga mereka kelak.
12. BADATANG
Pihak keluarga pria pada saatnya yang diberitahukan sebelumnya, dating dengan beberapa orang ke rumah calon isteri yang disebut dengan istilah “badatang”. Kedatang ini diterima antara kedua keluarga calon suami isteri itu secara traditional biasanya lahirlah dialog yang mempunyai versi prosa liris bahasa daerah Banjar yang umumnya disebut Baturai Pantun, yakni berbalas pantun antara keluarga pihak calon.
Adat orang banjar tidak mengenal istilah Batunangan atau Bapacaran. Istilah ‘Balarangan’ tidak sama dengan istilah ‘Batunangan’, karena belarangan adalah suatu perencanaan ancer – ancer para pihak orang tua masing – masing, ketika kedua anak masih remaja.
Menurut adat seorang gadis yang akan kawin, maka untuk selama 40 hari sebelumnya dia tidak diperkenankan keluar rumah.
Selama itu dia harus membersihkan diri, berlangsir mempercantik dirinya, yang disebut dengan istilah ‘bekasai’, sekaligus dia diberi beberapa nasehat.
13. NIKAH
Yang dimaksud dengan nikah adalah upacara keagamaan untuk melangsungkan ijab kabul di hadapan seorang penghulu dan saksi – saksi. Acara ini sering kali juga disebut ‘Meantar Jujuran’.
14. BATIMUNG
Bagi pengantin pria maupun wanita terutama menjelang hari persandingan dua atau tiga hari sebelumnya, maka pada malam harinya harus melaksanakan mandi uap yang dikenal dengan istilah ‘Batimung’. Diharapkan dengan batimung ini akan menguras habis keringat tubuh, menyehatkan dan mengharumkan tubuh pengantin tersebut. Dengan demikian pada saat persandingan nanti kedua pengantin tidak akan berkeringat lagi.
15. MANDI – MANDI
Pada waktu pagi hari menjelang acara persandingan siang, pengantin wanita melangsungkan acara mandi – mandi pengantin dengan air yang ditaburi macam – macam bunga. Pada daerah Kuala kadang – kadang disebut dengan istilah ‘Badudus’ atau ‘Bapapai’ dengan mayang Pinang. Jumlah bunga – bunga yang dioerlukan lebih banyak dan lebih berkesan sebagai salah satu upacara.
Acara mandi – mandi dilakukan oleh tiga orang wanita tua yang telah berpengalaman, yang umumnya dipimpin oleh seorang bidan kampong atau wanita tua lainnya. Selesai mandi, pengantin wanita disuruh menjejak telur ayam sampai pecah dengan ujung tumit. Ketika itu juga pengantin wanita tersebut dicukur yaitu dengan istilah ‘Belarap’, membikin cecantung pada kiri kanan wajahnya. Biasanya kemudian diikuti acara selamatan kecil dengan nasi lamak (ketan) berinti gula merah dan pisang mauli.
16. BATAPUNG TAWAR
Seiring dengan acara mandi – mandi tadi pada saat itu juga diadakan acara ‘batapung tawar’, dimaksudkan sebagai penebus atas berakhirnya masa perawan bagi seorang wanita. Untuk itu disediakan apa yang dinamakan ‘piduduk’, yaitu seperangkat keperluan pokok bahan makanan dalam wadah sasanggan (bokor kuning) yang terdiri dari sagantang beras, sebiji nyiur, gula merah, seekor ayam betina hitam, telur ayam tiga butir, lading, lilin, sebiji uang bahari (perak), jarum dengan benangnya, sesuap sirih, rokok daun, dan rerempah dapur. Isi piduduk: beras melambangkan rezeki, nyiur melambangkan lemak (kehidupan), gula merah lambing manis (kehidupan), ayam lambing cangkal becari, telur ayam lambang sum-sum, lading makna semangat yang keras, lilin lambang penerangan, uang lambang persediaan dalam hidup, jarum dan benang lambang ikatan suami isteri, sesuap sirih lambang kesatuan, rokok daun lambang kelaki-lakian, rerempah dapur lambang keterampilan kerja di dapur. Selanjutnya seluruh isi piduduk ini diberikan kepada bidan kampong yang memimpin acara mandi – mandi.
Untuk yang hadir pada acara betapung tawar disuguhi air teh manis atau kopi dengan kue, bubur habang bubur putih, cucur, wadai gincil, wadai galang, dan lakatan ber-inti.
17. BATAMAT AL-QUR’AN
Baik pengantin pria maupun pengantin wanita pada waktu menjelang acara persandingan biasanya melangsungkan acara betamat Qur’an yakni membaca kitab suci Al-Qur’an sebanyak 22 surah yang dimulai dari surah ke 93 (Ad-Dhuha) sampai dengan surah ke 114 (An-Nas) ditambah dengan beberapa ayat pada surah Al-Baqarah, ditutup dengan do’a khatam Qur’an, pembaca do’a biasanya guru mengaji pengantin tersebut.
Suatu kebiasaan yang unik dan lucu, ialah apabila pengantin telah sampai pada bacaan surah ke 105 (Al-Fiil) biasanya ramailah anak-anak dan remaja di sekitar itu memperebutkan telur masak sekaligus memakannya. Sebab menurut cerita konon yang mendapatkan telur masak itu akan menjadi terang hatinya, cepat menjadi pandai membaca kitab suci Al-Qur’an.
18. WALIMAH
Yang dimaksud dengan ‘walimah’ ialah suatu pesta perkawinan dalam rangkaian acara-acara perkawinan tersebut. Besar kecilnya walimah ini trgnatung pada kemampuan keluarga ‘ahli bait’ masing.
Menurut adat orang Banjar maka pohon (ahli bait atau tuan rumah) tidak aktif untuk bekerja dalam persiapan itu. Justru tetangga lah yang akan melaksanakan semua tugas-tugas, yang dibentuk semacam kepanitiaan yang disusun secara lisan saja. Biasanya membagi-bagi tugas sebagai berikut:
1. Nang jadi kepala gawe (pimpinan kegiatan)
2. Nang meurus tajak sarubung (mendirikan tenda)
3. Nang meurus pengawahan (bagian masak nasi dan ikan)
4. Nang meurus karasmin (mengurus kesenian)
5. Nang besaruan lalakian (pengundang untuk pria)
6. Nang besaruan bebinian (pengundang untuk wanita)
7. Nang menerima saruan (penerima tamu)
Dalam susunan pembagian tugas ini jelas terlihat bahwa sifat kegotong-royongan merupakan adat yang sangat menonjol sekali bagi para tetangga, tanpa diminta akan memberikan tenaga dan jasa-jasanya untuk kepentingan pelaksanaan perkawinan tersebut.
19. PETATAIAN
Petataian (pelaminan) dibuat secara khusus yang merupakan ciri khas banjar yang biasanya diletakkan tepat di ‘tawing halat’ (dinding batas tengah rumah) atau yang lazim disebut balai kencana. Terdapat juga yang dibangun khusus yang disebut balai warti yang terdiri dari tempat duduk untuk dua orang pengantin pria dan wanita yang berlatar belakang air Gucci yang gemerlapan dan pada kiri kanannya agak kebelakang tersusun bantal yang bersarung merah atau kuning bersulam benang emas, yang disebut ‘tetumpangan’. Di belakang tetumpangan terdapat pucuk tetumpangan yang berbentuk segitiga sama kaki dengan ornamen yang serasi dengan tetumpangannya. Di situ tersedia pula sesajian di atas piring kuningan besar yang diletakkan di atas bokor sesanggan kuningan.
20. BATATAIAN
Merupakan puncak dari acara perkawinan menurut adat banjar ini adalah pada upacara betataian (bersanding) pada tempat petataian. Acara ini yang dianggap paling bahagia oleh kedua pengantin ataupun keluarga mereka.
a. Pengantin wanita.
Pengantin wanita dengan tat arias pengantin bak amar gelung pancar matahari, baju lenagn pendek yang berendas epanjang pinggirannya, dikenal dengan nama baju poko. Dipangkal kedua tangannya terpasang kilat bahu dan gelang tangan jenis gelang tabu-tabu dilengkapi dengan menggunakan sepasang gelang kaki emas berbentuk akar atau buku manisan.
b. Pengantin Pria
Pakaian pengantin pria mengenakan baju jas buka yang terdiri dari baju bagian dalam warna putih, baju luar jas buka dengan warna yang sesuai dengan warna celana. Tutup kepala disebut laung tutup yang mempunyai cirri khas banjar tersendiri yaitu simpul laung dalam bentuk ‘lam djalalah’, memakai kalung samban dengan bogam melati sebanyak tiga atau lima, membawa kembang palimbaian menuju rumah pengantin wanita.
c. Tahap-tahapan betataian
a. Pengantin pria diantar
b. Betawak nasi lamak
c. Sujud dan makan bersama
d. Usung jinggung dan diarak
21. KELAMBU PENGANTIN
Begitu pentingnya kelambu pengantin ini bahkan menjadi suatu ukuran bagi orang untuk melihat sampai dimana kemampuan kepala keluarga yang sedang berminantu itu.
Kelambu ini selalu ditempatkan di kamar depan sebagai suatu bagian rumah yang utama, yakni ruangan tempat tidur sebelah kanan rumah banjar bahari, atau rumah bubungan tinggi (rumah beanjung). Karena pada waktu itu belum mengenal atau belum banyak mengenal ranjang. Kelambu itu digantung di ruang anjung dalam bentuk segi empat yang umumnya mempergunakan warna putih atau kuning muda. Di atas kelambu di pasang langit-langit dari kain yang agak tipis dengan sulaman kembang pancar matahari.
22. PENUTUP
Dalam kurun waktu yang panjang, adat istiadat atau tradisi perkawinan adat banjar ini mengalami beberapa perubahan baik tentang acaranya, busana atau sarana perlengkapan lainnya, sepanjang tidak menggeser keaslian tradisionalnya. Upaya-upaya para budayawan, perias pengantin banjar, dan penataan busana pengantin memang telah mengambil langkah-langkah untuk menetapkan suatu standar yang baku. Hal ini sangat penting agar cirri khas perkawinan adat banjar tersebut dapat terpellihara secara lestari.
23. Demikian urut – urutan prosesi perkawinan adat banjar yang masih diterapkan di lingkungan penduduk masyarakat Kalimantan selatan pada umumnya dan khususnya suku banjar yang berada di pinggiran kotamadya Banjarmasin yaitu di kelurahan teluk tiram kecamatan Banjarmasin barat.
SAJIAN ASTAKONA
24. Astakona adalah suatu istilah dari sastra Indonesia lama yang berarti segi banyak. Nasi astakona merupakan gambaran dari banyaknya sajian dari yang dihidangkan pada suatu tempat, khusus dari talam yang bertumpang ‘banyak’ tiga atau lima susun. Banyaknya sajian itu merupakan sebuah kesatuan hidangan yang terdiri atas tiga komponen pokok makanan, yaitu nasi, lauk pauk, dan buah – buahan. Hidangan nasi astakona berasal dari tradisi kesultanan banjar untuk suatu upacara tertentu atau santap bersama dengan adanya tamu kehormatan. Namun dalam kurun waktu selanjutnya disajikan dalam acara ‘bededapatan’, yaitu santap bersama bagi pengantin setelah bersanding di pelaminan (betataian).
25. Pencicipan nasi astakona. Secara simbolis penyendokkan pertama nasi astakona diambil dengan sendok kayu oleh seorang tokoh wanita tua dan menyerahkannya kepada tamu kehormatan. Bilamana dalam acara penganten, nasi tersebut diserahkan kepada kedua pengantin, selanjutnya diikuti oleh hadirin sesuai dengan kedudukan dan situasinya. Astakona sejak lama lazim tidak mempergunakan alat makan seperti sendok dan garpu karena di situ tersedia pula air tempat cuci tangan dan serbet kain.
26. Latar belakang filosofis.
Nasi astakona sesungguhnya memiliki makna filososfis dalam tata kehidupan orang banjar, hal itu dapat dilihat dan dihayati pada beberapa sarana dan bagian – bagian penyajian.
Talam dalam jumlah tiga atau lima menunjukkan jumlah yang ganjil, dimana dalam setiap bilangan dan sarana masyarakat banjar selalu menggunakan angka ganjil.
Makanan terdiri dari tiga komponen pokok (nasi dari beras/padi yang tumbuh di tanah, lauk pauk dari ikan yang hidup di air, dan buah-buahan yang tinggi di udara) adalah menggambarkan keterikatan hidup manusia dengan tanah, air, dan udara.
Dalam beberapa momen tertentu orang banjar selalu mendahulukan peranan orang tua (termasuk pengambilan pertama secara simbolik nasi astakona) sebagai lambang penghormatan terhadap orang yang memiliki kelebihan dalam hal usia, pengalaman, kewibawaan, dan afdhol (keutamaan dan barakat)
KESIMPULAN DAN SARAN
27. Kesimpulan. Perkawinan adat orang banjar adalah satu aspek budaya banjar yang harus dilestarikan kebudayaannya, karena profesi perkawinan tersebut menjadi identitas dan jati diri orang banjar sehingga keberadaannya perlu dilestarikan dan dibudayakan sehingga menjadi pengetahuan luas yang bermanfaat bagi generasi muda dewasa ini khususnya upaya mempelajari tata kehidupan adat perkawinan masyarakat banjar sejak waktu dulu sampai sekarang.
28. Saran. Dalam hubungan ini hendaknya disadari oleh para perias pengantin banjar agar tidak terpengaruh oleh tat arias dari luar daerah dan bahkan mungkin berakibat merekayasa menurut seleranya sendiri sehingga bias keluar dari tradisi dan tata adat banjar yang asli. Manakala hal itu terjadi maka keaslian dan kelestarian yang kita harapkan akan tercemar karenanya.
PENUTUP
29. Demikian tulisan ini disusun dengan harpan dapat bermanfaat dan sebagai bahan masukan bagi para pemegang otoritas serta untuk melengkapi tulisan lain yang sudah ada sebelumnya.
Banjarmasin, April 2011
Penulis